Minggu, 27 Oktober 2013

A Man In The Dream





Aku sangat lelah memar sisa cengkramannya meninggalkan  rasa sakit di leherku. Namun itu tak seberapa dengan rasa sakit di hatiku.

Rasa panas kembali menjalar di hidung dan mataku. ku cengkram keras tali tasku menengadahkan kepala menatap apapun yang berada di sana. Aku menghembuskan napas dengan kencang.

 Laki-laki itu tak pantas kau tangisi Jiyeon!

Kakiku melangkah gontai  menuju kamar rawat nenek.  Aku masih merasakan tubuhku yang bergetar, tatapanku begitu kosong. Hingga akhirnya pandangan mataku menemuan nenek yang tertidur dengan damai. Aku medekat dengan pelan, duduk di samping ranjangnya menatap penuh rindu. Ku raih jemarinya dan menempelkannya ke pipiku. Mataku mulai berkaca memandang nenekku yang terlihat kabur terhalang air mata. Aku bertanya kepadanya dalam hati.

Nek, apa yang sedang nenek mimpikan?

Nek, Aku telah memutuskannya!

Aku membencinya, kali ini dia membuatku benar-benar membencinya.

Apakah nenek keberatan jika aku telah memutuskannya?

Aku tak ingin menikah dengan Pria jahat itu.

Dan akhirnya aku menyerah membiarkan jiwaku tenggelam dalam hangatnya tangan nenek membawaku pada alam mimpi.


Aku tersesat dalam ruang asing  yang tak ku kenali. Sangat gelap. Lalu cahaya putih menyilaukan mataku, seiring dengan itu  gelak tawa seorang pria bergema di sekelilingku. Aku kembali melihatnya, Pohon gingko itu, pohon gingko yang tumbuh di taman rumah sakit, tempat aku merasakan rasa sakit karena mendapatkan kilasan ingatan pria pemilik tangan hangat. Daun-daun gingko berjatuhan di sekelilingku.

Suaran pria itu begitu samar kadang bersuara dengan jelas kadang hilang tenggelam oleh frekuensi bunyi lain. Aku juga mendengar suara seorang gadis. Yang sepertinya sedang berbincang dengan pria tersebut.

Tiap kali suara-suara itu bergema di telingaku, kepalaku kembali merasakan sakit yang amat sangat menyiksa seperti aliran listrik yang menyetrum tiap sel-sel otaku.

Siapa mereka sebenarnya?

“Aku akan menjadi pemelai priamumu.”

“Benarkah?”

“Annio, aku tidak berbohong, Aku akan menjadi pemelai priamu nanti”

“Oppa apakah kau betul-betul mengucapkannya”

“Nde..”

“Jika kau sudah berkata demikian aku tidak akan melepaskanmu, Oppa”

“Yah aku akan menepati janjiku”

“Berjanjilah,”

“Ya, Aku berjanji.”

Suara pria itu terhenti seiring hembusan kabut tebal kemudaian perlahan-lahan kabut itu menghilang. Di balik kabut itu, aku melihat gadis kecil yang wajahnya serupa denganku sedang terbaring lemah di ranjang. Wajahnya begitu pucat dan helaan napasnya begitu lemah. Sesuatu yang aneh menarikku, bagai hologram aku tertarik tenggalam kedalam tubuh kecil itu.

****
 Bau rumah sakit tercium di hidungku. Kenapa begitu berat, sekujur tubuhku terasa sakit. Dengan perlahan ku buka kelopak mataku. Cahaya lampu menyambut manik mataku dan itu sedikit menyakitkan. Uap hangat pada mesin penghangat mengepul di samping ranjangku. aku seolah berada di di kamar rawat yang nenek tinggal saat ini.

Pandanganku kembali menyapu sekelilingku. Aku menemukan seorang pemuda. Ia  duduk di kursi samping ranjangku dengan kepala tertekuk dalam. Tangannya bergetar di atas kedua lututnya.

Aku merasakan bibirku yang tersenyum. Bingung? darimana perintah senyum ini? Apakah karena Pemuda ini, yang bahkan masih tertunduk tak memandangku?

 “Oppa, ada apa. Kenapa dengan dirimu?”

 lagi-lagi tubuhku bergerak tanpa ku perintahkan. Bibirku bertanya pada pemuda tersebut. Aku merasa sekujur tubuhku begitu lemas. Hingga untuk bangun saya kepalaku terasa begitu berat.begitu banyak pertanyaan dalam kepalaku tentang pria ini. Siapa sesungguhnya dia?

Pemuda itu tetap diam tidak menjawab, kepalanya masih tertekuk. Tubuhku berusaha mengangkat tangannku yang baru ku sadari telah terpasang jarum inpus. Dengan susah payah tanganku mempu meraih wajahnya. Akhirnya ia tersadar  menyadari  sentuhanku dan menoleh memandangku.

Wajahnya terlihat pucat, matanya berkaca menatapku. Hanya beberapa menit ia kembali mengalihkan pandangannya dari mataku.

“Oppa?”

Keheningan menyelimuti kami.

“Ayo kita akhiri,”

Aku tak mengerti apa yang dikatakannya. Tapi tunggu, suara ini.... Suara ini mirip suara yang ku dengar waktu itu. Pria pemilik tangan hangat itu. Apakah itu dia? Dan wajahnya... wajahnya mirip seseorang.

“Nde?” ucap tubuhku dengan suara lemah.

Ia akhirnya kembali memandangku memberikanku kesempatan untuk memperhatiakan tiap ditail wajahnya dan betapa terkejutnya aku.


KIM SOO-HYUN....  pria pemilik tangan hangat itu meski dia terlihat lebih muda. Aku yakin dia adalah Soo-hyun.


Tiba-tiba rasa sakit menguasai kepalaku. Aku tak dapat berpikir ku biarkan tubuhku mengikuti apa yang diinginkan tubuh kecil anak ini, tenggelam di dalamnya masuk ke dalam jiwanya, merasakan rasa sakitnya, dan aku terdiam di satu sisi seolah sel baru yang hanya dapat memperhatikannya dari kejauhan merasakan diriku sekarang adalah gadis kecil ini.

Air mata mulai terlihat jelas mengenangi kelopak matan Soo-hyun. Dengan bibir bergetar ia mengucapkan kalimat yang tak ku mengerti.

“Aku tarik kembali janjiku kepadamu. Aku.... tidak akan menjadi pemelai priamu, Jiyeon.”

Tanganku terkulai lemas tak lagi menyentuh wajahnya. Ada perasaan ngilu yang menyesakkan yang mencabik dalam dada.

“Weo Oppa?” Aku  memaksakan diri untuk tertawa dan berpikir ini hanya lelucuan. Mataku mulai memanas.

“Ini tidak lucu.”
Aku melihat airmatanya terjatuh mengenai tanganku dan seiring air matanya jatuh tubuh kecilku pun ikut menangis. Kami hanya diam. Hening, kami menangis dalam diam.

 “Oppa.....”

Dia menghapus air matanya kemudian berdiri hendak pergi meninggalkanku. Aku meraih tangannya berusaha menahannya.

“Oppa....” Bibirku bergetar, mataku mengerejap mengusir air mata yang menghalangi pandanganku

“Kau telah berjanji...” Aku berusaha mengeluarkan kalimat pada mulutku yang terasa tercekat.

“Tepati janjimu...Katakan kau akan ada di sampingku setelah oprasi selesai.”

Air mata membanjiri wajahku. Aku memohon penuh pengharapan padanya. Aku tahu dia menangis pundaknya bergetar membelakangiku. Entah apa yang terjadi dan entah apa alasannya dia seperti ini. Aku tidak akan rela dia pergi. Aku menangis semakin kencang, berharap ia menoleh dan iba kepadaku.

“Oppa!”

Dengan pelan ia berusaha menarik tangannya dari genggamanku. Tubuhku berteriak, dan menggenggam tangannya lebih kecang.

“Annio Oppa! Aku berjanji aku akan sembuh! Aku takakan sakit-sakitan lagi, aku tak akan merepotkanmu lagi, Aku akan jadi calon pendamping yang baik!” ucap tubuhku berteriak sambil menangis kencang dengan putus asa.

Dia kembali menarik tangannya dari genggamanku. Ketika ujung jemarinya terlepas dari genggangamnku ia melangkah pergi  tanpa menoleh sekalipun. Ia meninggalkanku yang terus menangis memanggilnya.  

Aku mengumpulkan sisa tenagaku, berusaha bangkit. Menarik infusku dan turun dari ranjang hendak mengejarnya. Namun saat aku hendak berjalan, aku seakan tak memiliki tulang. Tenagaku tak dapat mengikuti keinginanku. Aku terjatuh di lantai yang dingin menangis memanggil namanya berharap dia kembali.

Aku sendirian dan air mata terus merembas di kedua mataku. Dunia seolah mengasingkanku hanya aku dan tubuh kecil gadis ini.

*****

 Aku terbangun oleh tangan yang mengelus kepalaku. Aku menengadahkan wajahku mencari pemilik tangan tersebut. Nenek?

“Kenapa Jiyeon. Apakah kau memimpikan sesuatu yang buruk. Tenanglah ada nenek di sini.”

Itu mimpi.... tadi hanya mimpi. Tapi mengapa terasa begitu nyata. Bahkan rasa sakitnyapun masih tertinggal dan menyeskkan. Aku baru menyadari aku masih menangis sesegukan. Nenek terus mengelus rambutku, sambil menghapus air mataku. Sudah lama rasanya aku tak menangis seperti ini pada Nenek. Dulu, setelah kecelakaan, aku sering bermimpi buruk dan berakhir tidur ditemani nenek.
Herannya, air mataku tak kunjung berhenti aku terus menangis sesegukan.

“Haighooo..... ada apa dengan mu. Jiyeon kami sudah besar.... kenapa masih menagis seperti ini.”

“Nenek.... aku.” Panggilku terbata kemudian Nenek terkekeh, menarikku duduk ke tempat tidur dan memelukku erat.  

“Apa ini karena acara tadi sore?” nenek mengelus punggungku.
Aku terdiam membisu. Dari mana Nenek tahu? Tanyaku dalam hati masih.

“Pamanmu tadi datang menjenguk, dia senang akhirnya kamu mau menerima perjodohan ini.”

 Aku bisa merasakan senyuman nenek di balik punggunggku. Bahkan paman menyalah artikan kedatanganku di acara itu.  Tanpa sadar aku menggigit bibirku menahan kekesalan dalam diam.

“Jangan, menangis Jiyeon. Kau layak mendapatkan ini semua. Jangan hanya karena dunia kita berbeda dengan mereka membuat kepercayaan dirimu menurun.”

Nenek terekekeh, sambil terus memelukku.

“Aku tidak memiliki cucu yang mudah menyerah. Kau gadis pintar, tunjukan pada mereka kau bisa membanggakan Nenek dan keluarga Kim.”

Aku kembali menangis semakin menenggelamkan diriku dalam pelukannya. Aku bingung, apakah aku harus menjelaskannya, apakah aku tega mengatakan semuanya...

Bahwa aku telah mengakhirinya,

Bahwa dia yang menyebabkan nenek sakit,

Haruskah?....

Ku sembunyikan wajahku dalam pelukan nenek. Setelah cukup menangis. Nenek merenggangkan pelukannya, mentapku kemudian merapihkan rambutku yang berantakan. Nenek terkekeh menertawakan mataku yang mungkin terlihat bengkak.

“Lihat... kau begitu jelek setelah menangis. Kemana cucuku yang cantik pergi? Haighooo....” Nenek menepuk lenganku pelan, aku memaksakan untuk tersenyum.

“Ayo kita tidur kembali. Mau tidur bersama Nenek?” Aku melirik ranjang yang tidak terlalu besar. Aku menatap nenek bingung?

“Ini, cukup. Karena kau masih cucu nenek yang cengeng.” Aku tersenyum geli kemudian mengangguk ikut tidur memeluk nenek. Nenek dengan sayang mengelus rambutku.

Tanpa Nenek sadari ia menyentuh memar di leherku sehingga membuatku merasa sedikit ngilu dan teringat kembali pada pria jahat yang melakuakannya.  

Pemuda itu... Soo-hyun. Menyebut namanya membuatku kembali merasakan kemarahan dan rasa sakit. Di saat aku ingin mengakhirinya kenapa baru sekarang kau berani muncul menunjukan  wajahmu?
Meski aku belum sepenuhnya ingat kenangan tentangnya, tapi mimpi itu dapat sedikit menjelaskan siapa dirimu. Bahkan dalam mimpikupun kau begitu tak berperasaan.
Sudah terlambat....

Bagaimanapun juga aku akan menghenyahkannya, tak perduli sebagian ingatanku meronta tak terima dan terus melawan lewat mimpi-mimpi dan ingatan-ingatan yang menyiksa. Aku akan tetap menghenyahkannya, menghapusnya tak bersisa.

“Nek,”

“Hemm”

“Maafkan aku,”

“Untuk?”

“Aku tidak akan menikah dengannya, Maaf.”

“Jiyeon....”

Aku memeluk nenek dengan erat bersembunyi dalam dekapan hangatnya berharap tak ada lagi pertanyaan. Berharap pembahasan ini berakhir. Aku tak ingin membuat nenek lebih kecewa lagi setelah mendengar siapa Kim Soo-hyun sesungguhnya.


Pria jahat tak berperasaan. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar