Aku sangat lelah memar sisa
cengkramannya meninggalkan rasa sakit di
leherku. Namun itu tak seberapa dengan rasa sakit di hatiku.
Rasa panas kembali menjalar di hidung
dan mataku. ku cengkram keras tali tasku menengadahkan kepala menatap apapun
yang berada di sana. Aku menghembuskan napas dengan kencang.
Laki-laki itu tak pantas kau
tangisi Jiyeon!
Kakiku melangkah gontai menuju kamar rawat nenek. Aku masih merasakan tubuhku yang bergetar,
tatapanku begitu kosong. Hingga akhirnya pandangan mataku menemuan nenek yang
tertidur dengan damai. Aku medekat dengan pelan, duduk di samping ranjangnya
menatap penuh rindu. Ku raih jemarinya dan menempelkannya ke pipiku. Mataku
mulai berkaca memandang nenekku yang terlihat kabur terhalang air mata. Aku
bertanya kepadanya dalam hati.
Nek, apa yang sedang nenek
mimpikan?
Nek, Aku telah memutuskannya!
Aku membencinya, kali ini dia
membuatku benar-benar membencinya.
Apakah nenek keberatan jika
aku telah memutuskannya?
Aku tak ingin menikah dengan
Pria jahat itu.
Dan akhirnya aku menyerah membiarkan
jiwaku tenggelam dalam hangatnya tangan nenek membawaku pada alam mimpi.
Aku tersesat dalam ruang asing yang tak ku kenali. Sangat gelap. Lalu cahaya
putih menyilaukan mataku, seiring dengan itu
gelak tawa seorang pria bergema di sekelilingku. Aku kembali melihatnya,
Pohon gingko itu, pohon gingko yang tumbuh di taman rumah sakit, tempat aku
merasakan rasa sakit karena mendapatkan kilasan ingatan pria pemilik tangan
hangat. Daun-daun gingko berjatuhan di sekelilingku.
Suaran pria itu begitu samar kadang
bersuara dengan jelas kadang hilang tenggelam oleh frekuensi bunyi lain. Aku juga
mendengar suara seorang gadis. Yang sepertinya sedang berbincang dengan pria
tersebut.
Tiap kali suara-suara itu bergema di
telingaku, kepalaku kembali merasakan sakit yang amat sangat menyiksa seperti
aliran listrik yang menyetrum tiap sel-sel otaku.
Siapa mereka sebenarnya?
“Aku akan menjadi pemelai
priamumu.”
“Benarkah?”
“Annio, aku tidak
berbohong, Aku akan menjadi pemelai priamu nanti”
“Oppa apakah kau
betul-betul mengucapkannya”
“Nde..”
“Jika kau sudah berkata
demikian aku tidak akan melepaskanmu, Oppa”
“Yah aku akan menepati
janjiku”
“Berjanjilah,”
“Ya, Aku berjanji.”
Suara pria itu terhenti seiring
hembusan kabut tebal kemudaian perlahan-lahan kabut itu menghilang. Di balik
kabut itu, aku melihat gadis kecil yang wajahnya serupa denganku sedang terbaring
lemah di ranjang. Wajahnya begitu pucat dan helaan napasnya begitu lemah.
Sesuatu yang aneh menarikku, bagai hologram aku tertarik tenggalam kedalam
tubuh kecil itu.
****
Bau rumah sakit tercium di hidungku. Kenapa begitu berat, sekujur
tubuhku terasa sakit. Dengan perlahan ku buka kelopak mataku. Cahaya lampu
menyambut manik mataku dan itu sedikit menyakitkan. Uap hangat pada mesin
penghangat mengepul di samping ranjangku. aku seolah berada di di kamar rawat
yang nenek tinggal saat ini.
Pandanganku kembali menyapu sekelilingku. Aku menemukan seorang pemuda.
Ia duduk di kursi samping ranjangku dengan
kepala tertekuk dalam. Tangannya bergetar di atas kedua lututnya.
Aku merasakan bibirku yang
tersenyum. Bingung? darimana perintah senyum ini? Apakah karena Pemuda ini,
yang bahkan masih tertunduk tak memandangku?
“Oppa, ada apa. Kenapa dengan dirimu?”
lagi-lagi tubuhku bergerak tanpa ku
perintahkan. Bibirku bertanya pada pemuda tersebut. Aku merasa sekujur tubuhku
begitu lemas. Hingga untuk bangun saya kepalaku terasa begitu berat.begitu
banyak pertanyaan dalam kepalaku tentang pria ini. Siapa sesungguhnya dia?
Pemuda itu tetap diam tidak
menjawab, kepalanya masih tertekuk. Tubuhku berusaha mengangkat tangannku yang
baru ku sadari telah terpasang jarum inpus. Dengan susah payah tanganku mempu
meraih wajahnya. Akhirnya ia tersadar menyadari sentuhanku dan
menoleh memandangku.
Wajahnya terlihat pucat,
matanya berkaca menatapku. Hanya beberapa menit ia kembali mengalihkan
pandangannya dari mataku.
“Oppa?”
Keheningan menyelimuti kami.
“Ayo kita akhiri,”
Aku tak mengerti apa yang
dikatakannya. Tapi tunggu, suara ini.... Suara ini mirip suara yang ku dengar
waktu itu. Pria pemilik tangan hangat itu. Apakah itu dia? Dan wajahnya...
wajahnya mirip seseorang.
“Nde?” ucap tubuhku dengan
suara lemah.
Ia akhirnya kembali
memandangku memberikanku kesempatan untuk memperhatiakan tiap ditail wajahnya
dan betapa terkejutnya aku.
KIM SOO-HYUN.... pria pemilik tangan hangat itu meski dia
terlihat lebih muda. Aku yakin dia adalah Soo-hyun.
Tiba-tiba rasa sakit
menguasai kepalaku. Aku tak dapat berpikir ku biarkan tubuhku mengikuti apa
yang diinginkan tubuh kecil anak ini, tenggelam di dalamnya masuk ke dalam
jiwanya, merasakan rasa sakitnya, dan aku terdiam di satu sisi seolah sel baru
yang hanya dapat memperhatikannya dari kejauhan merasakan diriku sekarang
adalah gadis kecil ini.
Air mata mulai terlihat jelas
mengenangi kelopak matan Soo-hyun. Dengan bibir bergetar ia mengucapkan kalimat
yang tak ku mengerti.
“Aku tarik kembali janjiku
kepadamu. Aku.... tidak akan menjadi pemelai priamu, Jiyeon.”
Tanganku terkulai lemas tak
lagi menyentuh wajahnya. Ada perasaan ngilu yang menyesakkan yang mencabik
dalam dada.
“Weo Oppa?” Aku memaksakan diri untuk tertawa dan berpikir ini
hanya lelucuan. Mataku mulai memanas.
“Ini tidak lucu.”
Aku melihat airmatanya
terjatuh mengenai tanganku dan seiring air matanya jatuh tubuh kecilku pun ikut
menangis. Kami hanya diam. Hening, kami menangis dalam diam.
“Oppa.....”
Dia menghapus air matanya
kemudian berdiri hendak pergi meninggalkanku. Aku meraih tangannya berusaha
menahannya.
“Oppa....” Bibirku bergetar,
mataku mengerejap mengusir air mata yang menghalangi pandanganku
“Kau telah berjanji...” Aku
berusaha mengeluarkan kalimat pada mulutku yang terasa tercekat.
“Tepati janjimu...Katakan kau
akan ada di sampingku setelah oprasi selesai.”
Air mata membanjiri wajahku.
Aku memohon penuh pengharapan padanya. Aku tahu dia menangis pundaknya bergetar
membelakangiku. Entah apa yang terjadi dan entah apa alasannya dia seperti ini.
Aku tidak akan rela dia pergi. Aku menangis semakin kencang, berharap ia
menoleh dan iba kepadaku.
“Oppa!”
Dengan pelan ia berusaha menarik
tangannya dari genggamanku. Tubuhku berteriak, dan menggenggam tangannya lebih
kecang.
“Annio Oppa! Aku berjanji aku
akan sembuh! Aku takakan sakit-sakitan lagi, aku tak akan merepotkanmu lagi,
Aku akan jadi calon pendamping yang baik!” ucap tubuhku berteriak sambil
menangis kencang dengan putus asa.
Dia kembali menarik tangannya
dari genggamanku. Ketika ujung jemarinya terlepas dari genggangamnku ia melangkah
pergi tanpa menoleh sekalipun. Ia meninggalkanku
yang terus menangis memanggilnya.
Aku mengumpulkan sisa
tenagaku, berusaha bangkit. Menarik infusku dan turun dari ranjang hendak
mengejarnya. Namun saat aku hendak berjalan, aku seakan tak memiliki tulang.
Tenagaku tak dapat mengikuti keinginanku. Aku terjatuh di lantai yang dingin
menangis memanggil namanya berharap dia kembali.
Aku sendirian dan air mata terus merembas di kedua mataku. Dunia seolah
mengasingkanku hanya aku dan tubuh kecil gadis ini.
*****
Aku terbangun oleh tangan yang
mengelus kepalaku. Aku menengadahkan wajahku mencari pemilik tangan tersebut.
Nenek?
“Kenapa Jiyeon. Apakah kau memimpikan
sesuatu yang buruk. Tenanglah ada nenek di sini.”
Itu mimpi.... tadi hanya mimpi. Tapi
mengapa terasa begitu nyata. Bahkan rasa sakitnyapun masih tertinggal dan
menyeskkan. Aku baru menyadari aku masih menangis sesegukan. Nenek terus
mengelus rambutku, sambil menghapus air mataku. Sudah lama rasanya aku tak
menangis seperti ini pada Nenek. Dulu, setelah kecelakaan, aku sering bermimpi
buruk dan berakhir tidur ditemani nenek.
Herannya, air mataku tak kunjung berhenti aku terus menangis
sesegukan.
“Haighooo..... ada apa dengan mu.
Jiyeon kami sudah besar.... kenapa masih menagis seperti ini.”
“Nenek.... aku.” Panggilku terbata
kemudian Nenek terkekeh, menarikku duduk ke tempat tidur dan memelukku erat.
“Apa ini karena acara tadi sore?”
nenek mengelus punggungku.
Aku terdiam membisu. Dari mana Nenek tahu? Tanyaku dalam hati
masih.
“Pamanmu tadi datang menjenguk, dia
senang akhirnya kamu mau menerima perjodohan ini.”
Aku bisa merasakan senyuman
nenek di balik punggunggku. Bahkan paman menyalah artikan kedatanganku di acara
itu. Tanpa sadar aku menggigit bibirku menahan kekesalan dalam diam.
“Jangan, menangis Jiyeon. Kau layak
mendapatkan ini semua. Jangan hanya karena dunia kita berbeda dengan mereka
membuat kepercayaan dirimu menurun.”
Nenek terekekeh, sambil terus
memelukku.
“Aku tidak memiliki cucu yang mudah
menyerah. Kau gadis pintar, tunjukan pada mereka kau bisa membanggakan Nenek
dan keluarga Kim.”
Aku kembali menangis semakin
menenggelamkan diriku dalam pelukannya. Aku bingung, apakah aku harus
menjelaskannya, apakah aku tega mengatakan semuanya...
Bahwa aku telah
mengakhirinya,
Bahwa dia yang menyebabkan
nenek sakit,
Haruskah?....
Ku sembunyikan wajahku dalam pelukan
nenek. Setelah cukup menangis. Nenek merenggangkan pelukannya, mentapku
kemudian merapihkan rambutku yang berantakan. Nenek terkekeh menertawakan
mataku yang mungkin terlihat bengkak.
“Lihat... kau begitu jelek setelah
menangis. Kemana cucuku yang cantik pergi? Haighooo....” Nenek menepuk lenganku
pelan, aku memaksakan untuk tersenyum.
“Ayo kita tidur kembali. Mau tidur
bersama Nenek?” Aku melirik ranjang yang tidak terlalu besar. Aku menatap nenek
bingung?
“Ini, cukup. Karena kau masih cucu
nenek yang cengeng.” Aku tersenyum geli kemudian mengangguk ikut tidur memeluk
nenek. Nenek dengan sayang mengelus rambutku.
Tanpa Nenek sadari ia menyentuh memar
di leherku sehingga membuatku merasa sedikit ngilu dan teringat kembali pada
pria jahat yang melakuakannya.
Pemuda itu... Soo-hyun. Menyebut
namanya membuatku kembali merasakan kemarahan dan rasa sakit. Di saat aku ingin
mengakhirinya kenapa baru sekarang kau berani muncul menunjukan wajahmu?
Meski aku belum sepenuhnya ingat kenangan tentangnya, tapi
mimpi itu dapat sedikit menjelaskan siapa dirimu. Bahkan dalam mimpikupun kau
begitu tak berperasaan.
Sudah terlambat....
Bagaimanapun juga aku akan
menghenyahkannya, tak perduli sebagian ingatanku meronta tak terima dan terus
melawan lewat mimpi-mimpi dan ingatan-ingatan yang menyiksa. Aku akan tetap
menghenyahkannya, menghapusnya tak bersisa.
“Nek,”
“Hemm”
“Maafkan aku,”
“Untuk?”
“Aku tidak akan menikah dengannya,
Maaf.”
“Jiyeon....”
Aku memeluk nenek dengan erat
bersembunyi dalam dekapan hangatnya berharap tak ada lagi pertanyaan. Berharap
pembahasan ini berakhir. Aku tak ingin membuat nenek lebih kecewa lagi setelah mendengar
siapa Kim Soo-hyun sesungguhnya.
Pria jahat tak berperasaan.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar